Memutuskan keluar kamar kosan hampir
tengah malam seperti ini kalau bukan gundah, karena apa lagi? Gundah karena
belum ada yang aku tulis minggu ini, belum ada yang aku tuangkan minggu ini.
Beruntung sebulan di tempat ini,
ada kendaraan ‘saudara baru’ yang bisa aku gunakan. Kalau tidak, entahlah akan
jadi apa diri ini dimakan suntuk. Pulau indah padat penduduk yang terus membuat
aku heran, kenapa pemerintah disini tidak menyediakan transportasi umum. Ah
sudahlah terima saja, toh suara dengungku takkan terdengar, haha.
Lalu motor ½ tua ini kulajukan
terus ke arah barat dari kosan, hanya 15 menit aku sudah tiba di pantai. Disini
berjejer pantai Kuta, Legian dan Seminyak. Tiga pantai indah yang menempel
berdampingan, tapi punya beda suasana. Aku menyusuri ketiganya malam ini,
sendirian. Dihadapan pantai berjejer puluhan bahkan ratusaan cafe, bar, resto
dan berbagai tempat santai santai lainnya yang dipenuhi oleh ribuan turis asing
alias bule bule. Jadi ingat suasana di pinggir pantai sepanjang Gili Trawangan.
Aku sengaja membawa perlengkapan
menulisku di tas, lengkap. Laptop dan adaptor, flashdisk, headset. Why i bring headset?
Bukankah aku ingin menulis sambil mendengar suara debum ombak yang menenangkan?
Nyatanya semenenangkan apapun suara debum ombak di telingaku, suara riuh
berisik tetap mengganggu pikiranku, sia-sia.
Oh iya, tadi sore di lapangan
Puputan Renon ada Pagelaran Kesenian Bali, agenda rutin tahunan di Pulau ini.
Aku adalah orang yang mudah sekali terharu. Jangankan melihat pagelaran seni
semacam tadi sore, melihat adik sepupu kecilku tampil menari di panggung tujuh
belas agustusan saja aku terharu, menangis dibuatnya. Apalagi tadi sore
hahahaha. Mungkin orang berpikir aku aneh, kenapa menangis ditengah acara seni
seperti ini. Haduh jadi malu. Aku sampai lupa tujuan mau merekam pagelaran seni
dari berbagai kabupaten, aku lupa karena sibuk menyeka air mata. Aku bangga ada
di Negeri ini.
Pusat kota, malam minggu. Jelas
seluruh ruas jalan nampak penuh padat. Membuatku mengingat sesuatu.
Kata Mas Alitt Susanto entah di
postingan twitter dia tahun berapa. Tentang, bosan itu hanya ilusi, bosan itu
tidak nyata. Membuatku berpikir kenapa harus kerasan di tempat ini, jika aku
belum punya cukup alasan, hanya karena (mungkin) bosan dengan suasana kotaku,
kampung halamanku.
Padahal jelas-jelas aku
meng-aamiin-i pernyataan mas Alitt bahwa tidak ada yang lebih baik, hanya ada
yang lebih baru. Itu berlaku di banyak hal, salah satunya tempat kita berdiam.
Setelah cukup waktu bertahan di
pulau ini. Aku sadar tempat ini indah, sangat indah. Tapi semakin kesini, aku
selalu bergumam dalam hati. Tempat ini tak lebih baik dari kotaku. Hanya saja
lebih baru buatku. Buktinya orang-orang pribumi disini biasa saja dengan tempat
ini. Mungkin mereka menganggap pulau mereka istimewa karena mereka mencintai
tempat mereka. So, itu artinya yang membuat sebuah tempat menjadi istimewa
bukan karena seberapa elok tempat itu, bukan seberapa banyak tempat wisatanya,
bukan seberapa baik sarana umum disana. Tapi bagaimana penduduknya
memperlakukan tempat tersebut.
Malam ini aku tahu, semua Kota
adalah istimewa, tergantung bagaimana kita memperlakukan kota tersebut. Aku
cinta kota ku, aku cinta. Meski kota ku tak punya pantai, tak punya tempat
wisata, tak punya hutan, kota ku tak punya gunung untuk didaki, kota ku tak
sehebat kota-kota di pulau ini. Tapi dari sana aku datang, dan akan kesana aku
pulang. Hanya tentang waktu.
Sama seperti Pasangan. Jika kalian
pernah mengalami bosan dengan pasangan lantas mencari yang baru, lalu kalian
mendapatkan pasangan baru tersebut, apa yang akan kalian katakan pada diri
kalian? Mencari pasangan yang lebih baik? Tidak, tidak ada orang yang lebih
baik, sama halnya dengan setiap tempat, pasangan juga begitu. Ketika kita punya
pasangan baru, itu bukanlah orang yang lebih baik, bukan. Ia hanya orang yang
lebih baru, dan di depan sana akan selalu ada orang yang lebih baru, tapi
selalu terlihat lebih baik, karena kita belum ada di dalam sana, belum
bersamanya. Saat kita di tempat baru tersebut, di awal kita merasa tempat
tersebut lebih baik, padahal itu hanya ILUSI dari rasa bosan. Kebiasaan itu
hanya akan berulang bila kita tidak berusaha sadar. Aku ulangi, tidak ada yang
lebih baik, hanya ada yang lebih baru. Itulah mengapa ada istilah Rumput
Tetangga selalu lebih Hijau.
Aku makin bingung soal pertanyaan “jadi
pindah ke rumah bu Rini?”. Kalo pindah ke rumah beliau, aku akan bebas beban
biaya kost, beliau bersedia rumahnya ditempati, bahkan silakan makan yang ada
di rumahnya, anggap rumah sendiri. Aku akan
bisa lebih lama tinggal disini, uang hasil kerja pun bisa lebih ditabung untuk
orang kirim ke rumah, begitu bukan.
Tapi aku harus berpikir banyak. Aku
punya banyak hutang janji pada diriku, target-target yang harus selesai
beberapa bulan ini. Pekerjaan-pekerjaan yang harus aku selesaikan beberapa
bulan ini, dan harus diselesaikan di kota ku..
Beberapa minggu lalu, bunda
Fidarasha tiba-tiba mengirim Chat via whatsapp, beliau sering tiba-tiba membuka
obrolan, seakan tahu aku butuh tempat curhat. Pesannya selalu sama, “jangan
pergi jauh-jauh, kamu hanya butuh liburan.”
Dari beberapa pesan semacam itu,
yang tersirat adalah sama. Aku butuh suatu tempat HANYA untuk berlibur sejenak,
agar lebih bersyukur. Kalau aku butuh sendiri, aku bisa mentreatment diriku
untuk mandiri tanpa pergi sekalipun, bukan? Tentang rasa kecewa pada apapun,
akan hilang seiring semakin dewasanya pikiranku, hanya soal waktu.
Besok, Minggu pagi akan kupikirkan
lagi langkah apa yang harus kuambil. Kalau aku harus kembali ke kota ku,
artinya aku harus secepatnya mengumpulkan uang untuk ongkos pulang. Kalau aku
pilih disini, aku lebih baik tinggal dengan bu Rini, supaya segera punya
keluarga baru disini.
Semua yang kuambil adalah hasil
pikiran yang digerakan oleh yang maha menggerakan pikiran, yang Maha
membolak-balik hati. Jadi tak perlu khawatir xa..