Saturday 4 February 2017

Silly

Dua menit yang lalu saya memutuskan untuk menekan tombol mati ponsel, membuka layar notebook kusam yang tertumpuk di pinggir meja, bukan cerita yang mudah, bukan sekedar mematikan ponsel dan membuka notebook untuk membunuh suntuk. Paling tidak, untuk perempuan yang bukan officially nocturnal ya pastilah ada sesuatu yang mengganggu perasaannya kalau tiba-tiba terpikir untuk nulis jam 23:58 seperti sekarang ini.
Besok Sabtu, dan di luar rumah turun hujan gerimis, harusnya tidurku bisa lebih pulas dengan cuaca seperti ini. Tapi beberapa menit lalu mataku mengerjap, terbangun, lantas membuka layar ponsel. Niat awalnya untuk mematikan musik yang berputar sejak jam 21:30 tadi.
Tapi tak sengaja membuka chat room whatsapp, yang isinya saya, dua orang abang saya, dan mama kami.
Saya tak baca jelas apa yang sedang dibahas mama dan abang sulung saya, awalnya hal sepele, mungkin. Tapi saya kurang setuju dengan pernyataan abang saya dipercakapan itu, sampai muncul resistance. Kami terbiasa demokratis, dan menurut saya demokratis sangat beda dengan pembangkang.
Entah iblis mana yang menyelinap masuk ke jari-jariku, aku menulis banyak jawaban untuk abang. Mama sudah terlelap, tak lagi baca chat room, tak melihat anak pertama dan anak bungsunya bertengkar. Entah bertengkar atau ngobrol. Saya mengkategorikan obrolan tersebut lebih bisa disebut pertengkaran. Karena kami tidak terbiasa saling menyerang, dan kali ini kami saling serang, itu berarti pertengkaran, meskipun saya benci bertengkar. Bukankah semua orang benci bertengkar, apalagi dengan orang yang kita sayang, right?
Dan dia (abangku) yang hidup bersama sejak kecil, tentulah tahu adiknya cengeng, istilah jaman sekarangnya Baper. Bagaimana tidak menangis dalam gelap, seorang adik terpaksa bertengkar dengan abangnya tengah malam, sambil mengantuk. Bertengkar dengan orang yang kita sayang tentulah akan pakai perasaan, perasaan ikut ambil peran, dan yang pakai perasaan tentulah dengan mudah membuatku nangis. Kami saling melukai ego masing-masing. Saya melukai ego abang saya, dia –pun.
Saya ingat jelas kata-kata terakhir yang kutulis untuk abang saya beberapa menit lalu di chat room, ya jelas saja, baru beberapa menit lalu kutulis itu. “situ laki-laki paling tua pula, powerful dikit lah. Gak sanggup ngatur adek-adeknya?? Jangan tumbuh jadi ayah juga. Anak orang aja diurusin, giliran adik sendiri mentalnya pembangkang malah didiemin, bukannya diatur
Saya menangis usai menulis kalimat itu. Menangis karena menurutku itu kalimat jahat, saya melukai abang saya. Saya adik yang jahat. Abang tak lama mengetik balasan kalimatku, belum ku buka, aku pilih mematikan ponselku, tak mau baca lagi. Apapun yang abang saya balas di chat room itu, dia berhak mencaci adiknya, dia berhak mencaciku, adiknya yang pembangkang, yang menurutnya tidak bisa diatur, sulit dilarang dan dibatasi.
Bagaimanapun, bagiku laki-laki tertua di keluarga sangat berhak mengatur, berhak membuat keputusan, dan kami seharusnya siap mengikuti. Bagaimanapun harus ada yang atur. Kalau tidak, kacau balaulah, berantakanlah kami, seperti kami saat ini. Bukan sepenuhnya salah abang, -pun bukan sepenuhnya salah saya, bukan sepenuhnya salah mama kami, semua punya andil dalam keberantakan yang ada.
Sabtu, 04 Feb 2017
00:27 WIB, dari adik di kamar abang yang sedang tidak ditempati

0 comments:

Post a Comment

 

Iftitah Axa Template by Ipietoon Cute Blog Design