Dua menit yang lalu saya memutuskan
untuk menekan tombol mati ponsel, membuka layar notebook kusam yang tertumpuk
di pinggir meja, bukan cerita yang mudah, bukan sekedar mematikan ponsel dan
membuka notebook untuk membunuh suntuk. Paling tidak, untuk perempuan yang
bukan officially nocturnal ya
pastilah ada sesuatu yang mengganggu perasaannya kalau tiba-tiba terpikir untuk
nulis jam 23:58 seperti sekarang ini.
Besok Sabtu, dan di luar rumah turun
hujan gerimis, harusnya tidurku bisa lebih pulas dengan cuaca seperti ini. Tapi
beberapa menit lalu mataku mengerjap, terbangun, lantas membuka layar ponsel.
Niat awalnya untuk mematikan musik yang berputar sejak jam 21:30 tadi.
Tapi tak sengaja membuka chat room whatsapp, yang isinya saya, dua orang abang saya, dan mama kami.
Tapi tak sengaja membuka chat room whatsapp, yang isinya saya, dua orang abang saya, dan mama kami.
Saya tak baca jelas apa yang sedang
dibahas mama dan abang sulung saya, awalnya hal sepele, mungkin. Tapi saya
kurang setuju dengan pernyataan abang saya dipercakapan itu, sampai muncul
resistance. Kami terbiasa demokratis, dan menurut saya demokratis sangat beda
dengan pembangkang.
Entah iblis mana yang menyelinap masuk
ke jari-jariku, aku menulis banyak jawaban untuk abang. Mama sudah terlelap,
tak lagi baca chat room, tak melihat anak pertama dan anak bungsunya
bertengkar. Entah bertengkar atau ngobrol. Saya mengkategorikan obrolan
tersebut lebih bisa disebut pertengkaran. Karena kami tidak terbiasa saling
menyerang, dan kali ini kami saling serang, itu berarti pertengkaran, meskipun
saya benci bertengkar. Bukankah semua orang benci bertengkar, apalagi dengan
orang yang kita sayang, right?
Dan dia (abangku) yang hidup bersama
sejak kecil, tentulah tahu adiknya cengeng, istilah jaman sekarangnya Baper. Bagaimana tidak menangis dalam
gelap, seorang adik terpaksa bertengkar dengan abangnya tengah malam, sambil
mengantuk. Bertengkar dengan orang yang kita sayang tentulah akan pakai
perasaan, perasaan ikut ambil peran, dan yang pakai perasaan tentulah dengan
mudah membuatku nangis. Kami saling melukai ego masing-masing. Saya melukai ego
abang saya, dia –pun.
Saya ingat jelas kata-kata terakhir
yang kutulis untuk abang saya beberapa menit lalu di chat room, ya jelas saja,
baru beberapa menit lalu kutulis itu. “situ laki-laki paling tua pula, powerful
dikit lah. Gak sanggup ngatur adek-adeknya?? Jangan tumbuh jadi ayah juga. Anak
orang aja diurusin, giliran adik sendiri mentalnya pembangkang malah didiemin,
bukannya diatur”
Saya menangis usai menulis kalimat
itu. Menangis karena menurutku itu kalimat jahat, saya melukai abang saya. Saya
adik yang jahat. Abang tak lama mengetik balasan kalimatku, belum ku buka, aku
pilih mematikan ponselku, tak mau baca lagi. Apapun yang abang saya balas di
chat room itu, dia berhak mencaci adiknya, dia berhak mencaciku, adiknya yang
pembangkang, yang menurutnya tidak bisa diatur, sulit dilarang dan dibatasi.
Bagaimanapun, bagiku laki-laki tertua
di keluarga sangat berhak mengatur, berhak membuat keputusan, dan kami
seharusnya siap mengikuti. Bagaimanapun harus ada yang atur. Kalau tidak, kacau
balaulah, berantakanlah kami, seperti kami saat ini. Bukan sepenuhnya salah
abang, -pun bukan sepenuhnya salah saya, bukan sepenuhnya salah mama kami,
semua punya andil dalam keberantakan yang ada.
Sabtu, 04 Feb 2017
00:27 WIB, dari adik di kamar abang yang
sedang tidak ditempati.
0 comments:
Post a Comment