Sabtu
malam, South of Barcelona
Pipinya
menempel di meja coffee shop yang sampai nyaris tengah malam masih nampak riuh
ramai oleh pengunjung. Para penikmat malam
sengaja datang menghabiskan waktu akhir pekan, sambil menikmati gemerlapnya suasana
kota bersama kerabat. Tidak dengan Kukuh yang hanya duduk sendiri sejak sore
tadi.
Ditemani
segelas Manchada. Ia masih
hanyut mengetuk ngetuk dua benda keramat
yang mengganggu pikirannya sejak tujuh
tahun silam. Sekelebat
kenangan obrolan hangat di gubuk belakang rumah bersama ibu, terlintas begitu
saja. Semakin jelas.
“Kenapa
aku perlu ini bu? Kenapa kaum kita perlu benda ini? Sejujurnya aku tak suka
harus selalu membawanya dalam tasku”.
“Segitu
sombongnya kah kau puteriku?” tanggap ibu halus.
“Kau
perempuan nak, terlepas dari karakter yang agak maskulin sekalipun. Sebagai
perempuan kau harus menunjukan kebijaksanaanmu, salah satunya dengan bantuan
benda itu, berhias”
“Tapi
bu, aku akan terlihat centil dengan benda-benda ini.”
“Segitu
kah kamu merasa dirimu cantik dan sempurna? Sampai-sampai tak membutuhkan
bantuan alat make up?”
“Astaga,
tidak begitu bu. Aku paham betul tidak ada makhluk yang sempurna.”
“Itulah
filosofi alat make up bagi ibu, salah satunya adalah bukti sebuah pengakuan
seorang perempuan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Maka dibuatlah berbagai alat make up untuk menunjang penampilan semua kaum
hawa. Tanpa harus mengubah
bentuk yang sudah tuhan kasih dengan operasi plastik, yang jelas-jelas tidak disukai tuhan, get it dear?"
“Owh,
itu maksud ibu kenapa aku harus bermake up?”
“Tidak
ada yang salah nak, kamu sudah cukup umur dengan alat-alat itu. Kalau masih ada yang sebut itu centil, mungkin mereka merasa
diri mereka sudah sangat sempurna sampai-sampai tak perlu berhias. Kamu jangan
ikutan sombong seperti mereka ya nak.”
Sambil
menjelaskan Ibu masih sibuk dengan kain dan benang jahit di tangannya. Entah
saat itu pola apa yang sedang ibu buat. Yang jelas setiap rajutan benang jahit
ibu, selalu ada cinta dan doa untuk puteri semata wayangnya, Kukuh.
Doa
luar biasa yang mampu mengantarkan Kukuh ke dunia yang lebih berwarna lagi. Hidup yang sesungguhnya,
yang penuh pertanyaan. Doa yang menggetarkan langit, doa yang
membawa terbang Kukuh ke Selatan Barcelona dua tahun lalu.
Studi
Master Ekonomi yang ia dapat dari beasiswa Fullbright telah ia rampungkan dengan baik sebulan
yang
lalu.
“Lantas
sekarang untuk siapa semua benda ini ibu?” Gumamnya dalam hati sambil mengetuk-ngetuk
pelan pensil alis coklat oleh-oleh dari Mrs.
Laurene.
“Setelah
semua ini, apa lagi yang harus kulakukan ibu?” Air mata mulai mengkristal
menghias mata indah Kukuh.
“Hei
Kuh, apa kau baik-baik saja?” Tanpa disadari Jaka sudah berdiri di belakang
meja Kukuh sejak beberapa detik lalu.
Jaka
yang
juga penerima beasiswa master dari
Indonesia sudah Kukuh kenal sejak semester pertama di Barcelona. Sekedar berbincang tentang Ekonomi Internasional sudah
menjadi kebiasaan mereka. Bagi Kukuh selama ini Jaka
hanya teman diskusi, tak lebih.
Kukuh,
perempuan pertama yang Jaka tatap matanya lebih dari lima
detik. Yap, meskipun hatinya jumpalitan harus menatap Kukuh ketika asik
diskusi. Pria dengan karakter tenang dan menjadi
pujaan banyak wanita ini. Siapa sangka ia belum pernah mampu menjelaskan
tentang perasaanya. Baginya, Kukuh bukan sekedar teman diskusi. Kukuh teman
hidupnya, belahan jiwanya.
“Yes,
I’am okay” jawab Kukuh lesu.
“Apa
rencanamu setelah ini kawan?” Tanya Kukuh. Setelah
beberapa detik hening, ia memulai
pertanyaan basa-basinya. Sesungguhnya ia sedang ingin sendiri saat ini.
“Hmm
entahlah, sepertinya kembali ke tanah
air menjadi pilihan bagus. Dua tahun adik perempuanku mengurus bisnis keluarga
kami sendirian. Mungkin ini sudah saatnya aku mengambil alih kembali, adikku
butuh istirahat. Bagaimana denganmu Kuh?” Senyum Jaka serasa mubazir, kali ini Kukuh
enggan manatapnya sama sekali.
“Entahlah Jack, untuk siapa aku disana? Hmm, mungkin aku hanya akan
berkunjung ke tempat Ayahku di Bali. Lalu ziarah
ke pusara Ibu dan menengok beberapa
keluarga di Bandung, lantas
pulang ke Ibukota” Jawabnya.
Kukuh
mencoba membayangkan segelintir aktivitas yang abu-abu. Ia akan melakukannya
seperti tanpa nyawa.
“Pulang
ke Ibukota? Apa definisi pulang bagimu Kuh?” Tanya Jaka sambil tertawa kecil.
“Pulang
adalah kembali ke titik awal kita melakukan start, bukan? Peduli amat aku
dengan istilah itu, huh!! Selesai itu semua, aku akan mengambil tawaran Profesor Zidane untuk bekerja di Canada, memulai semuanya disana” tukas Kukuh kesal.
“Jangan
beralih topik dulu Kuh, aku hanya ingin tau makna
Pulang yang kau sebut tadi.
Kau mungkin benar dengan arti Pulang bagimu, meskipun setiap orang punya pengertian berbeda dari kata Pulang. Dan
bagiku, titik awal start ku adalah rumahku, keluargaku, kesanalah aku pulang.”
“Ya, baiklah itu
maksudku, rumah! Aku pulang ke rumahku di Ibukota.” Potong
Kukuh tegas.
“Lalu,
apa makna rumah bagimu?” Tanya Jaka lagi membuat Kukuh sedikit membatin.
Kukuh merasa terjebak dengan jawabannya sendiri. “Tau ah,
bukannya tiap orang juga punya definisi masing-masing apa itu Rumah. Aku tak
peduli. Rumah bagiku yaa tempat
aku bisa merebahkan tubuhku, melepas baju, memasak, bebas!! Sudah cukup membahas tentang rumah Jack, kau ini
menyebalkan.”
“Bagiku,
rumah adalah tempat dimana ada orang yang menunggu kita pulang” ucap Jaka.
Tenggorokan
Kukuh terasa tercekam
mendengar jawaban Jaka. Dadanya
sedikit sesak, kristal di mata Kukuh
meluncur bebas ke pipi merahnya. Ia menelan ludah pelan. Mencoba menyeruput Manchadanya yang masih hangat. Bagaimana bisa,
untuk memegang cangkir saja tangan Kukuh gemetar.
Kali
ini ia sama sekali tak mampu menyembunyikan perasaannya. Hatinya kosong dan kemarau.
Malam itu Jaka mencoba mengusik hati yang kering kerontang
bertahun lamanya. Sejak Ibu
harus disemayamkan dengan jutaan filosofi lipstick, pensil alis, dan cinta untuk
Kukuh.
“Astaga,
aku tidak bermaksud
mengganggumu Kuh.
Maaf jika obrolan ini melukaimu. Aku
sungguh tak ada maksud, maafkan aku” Jaka mulai gelagapan menyaksikan langsung
untuk pertama kalinya sang belahan jiwanya menitikkan butiran air mata, apalagi karena
ucapannya.
Kukuh
yang Jaka kenal adalah perempuan dengan sosok dingin dan
angkuh. Meskipun dengan sedikit make up, ia tetap tampak dingin.
Seakan mampu hidup dalam kesendirian.
“It’s
okay, kau tak salah. Itu artinya aku sudah tak punya rumah, karena tak ada lagi
yang menungguku pulang, itu saja. Maaf aku jadi melankolis gini Jack.” Jawab Kukuh sambil menyeka air matannya.
Tawa
getir membungkus suara Kukuh. Jelas itu mengganggu perasaan Jaka. Ia sangat menyesal.
“Apapun
pilihanmu setelah ini, aku hanya berharap itu yang terbaik untukmu, Kuh” Ucap
Jaka pelan.
Bagaimana
mungkin, malam ini menjadi
malam terakhir Kukuh berusia 24 tahun. Pukul
00.00 malam nanti ia memasuki usia ke-25. Itu
adalah usia perak bagi seorang perempuan lajang, tepat 120 menit lagi.
Bukan
Kue ulangtahun dengan lilin berhias angka. Hanya ada Jaka dihadapannya dengan
jutaan cinta terpendam untuk Kukuh.
“Kalau
boleh aku akan antar kau ke wisma, sudah
larut malam, Kuh.”
“Aku
masih ingin disini, tak apa jika kau ingin istirahat duluan, silakan. Karena lusa jadwal terbangku ke tanah air, aku ingin
menikmati pemandangan malam disini, aku berharap kau pun.”
Kali
ini gantian dada Jaka yang dibuat sesak. Pertama kalinya Kukuh meminta Jaka
menemaninya. “With pleasure!” jawab Jaka
tanpa ragu. Nampak tersungging senyum salah tingkah di wajah Jaka.
“Akan
kupesankan Cinnamon Roll hangat untuk teman ngopi kita, kamu tunggu disini.” Lanjut Jaka sambil bergegas dari kursinya.
“Aku senang bisa melihatmu malam ini Kuh” Jaka kembali
membuka obrolan dengan Cinnamon Roll sudah dihadapan mereka. Kukuh sama sekali
tak menghiraukan ucapan Jaka barusan.
“Aku ada sesuatu untukmu.” Lanjut Jaka lagi sambil
mengeluarkan sebuah gift box dari
dalam tasnya. Kukuh langsung menerimanya.
Sebuah kotak berisi alat make up komplit. Membuat
Kukuh tercengang tak mengerti apa yang harus ia katakan. “Spesial hanya untuk
wanita bijaksana” tegas Jaka sambil tersenyum hangat. “Thanks Jack, aku sangat
suka ini.” balas Kukuh sendu terharu. Baru beberapa menit yang lalu hatinya
porak poranda karena benda-benda semacam itu.
Getar ponsel Jaka membuyarkan keromantisan malam
mereka. “Assalamualaikum bang..” sapa seorang perempuan di telpon itu dengan
nada terburu-buru. “Waalaikumsalam, yaa Ratna.. ada apa tumben sekali telfon?”
jawab Jaka terbawa panik.
“Bang, ibu sudah gak ada bang.. Abang pulang segera ya
bang.. Kami masih di rumah sakit, setelah ini jenazah ibu dibawa pulang ke
rumah” Jawab Ratna lagi sambil terisak. “Abang segera pulang sekarang juga Rat”
jawab Jaka lantas memutus telfon adiknya.
“Kuh, ibuku..” ucap Jaka dengan suara tak jelas
terbungkus isak tangis. Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Sementara hatinya
terasa teriris-iris mendengar kabar kepergian Ibu.
“Aku pergi ya Kuh, kau hat-hati diperjalanan besok.
Maafkan aku soal arti rumah dan pulang yang mengganggumu tadi, aku pulang Kuh”
ucap Jaka sendu sambil membereskan cepat-cepat isi tasny. Dan dengan cepat
meninggalkan meja.
Jemari Kukuh refleks meraih lengan Jaka yang sudah berbalik
tubuh, “Thanks Jack, kau adalah rumahku
tempat aku pulang nanti. Hati-hati dan salam untuk keluargamu, aku turut
berduka” ucap Kukuh lembut. Ucapan yang membuat Jaka tersontak kaget dan
menoleh. Paling tidak membuat mereka berdua saling menatap sepersekian detik.
Sekedar saling melempar senyum.
0 comments:
Post a Comment