Tuesday 30 May 2017

Filosofi Lipstick dan Pensil Alis

Sabtu malam, South of Barcelona
Pipinya menempel di meja coffee shop yang sampai nyaris tengah malam masih nampak riuh ramai oleh pengunjung. Para penikmat malam sengaja datang menghabiskan waktu akhir pekan, sambil menikmati gemerlapnya suasana kota bersama kerabat. Tidak dengan Kukuh yang hanya duduk sendiri sejak sore tadi.
Ditemani segelas Manchada. Ia masih hanyut mengetuk ngetuk dua benda keramat yang mengganggu pikirannya sejak tujuh tahun silam. Sekelebat kenangan obrolan hangat di gubuk belakang rumah bersama ibu, terlintas begitu saja. Semakin jelas.
“Kenapa aku perlu ini bu? Kenapa kaum kita perlu benda ini? Sejujurnya aku tak suka harus selalu membawanya dalam tasku”.
“Segitu sombongnya kah kau puteriku?” tanggap ibu halus.
“Kenapa sombong ibu? Apa kaitannya dengan lipstick dan pensil alisku?”
“Kau perempuan nak, terlepas dari karakter yang agak maskulin sekalipun. Sebagai perempuan kau harus menunjukan kebijaksanaanmu, salah satunya dengan bantuan benda itu, berhias
“Tapi bu, aku akan terlihat centil dengan benda-benda ini.
“Segitu kah kamu merasa dirimu cantik dan sempurna? Sampai-sampai tak membutuhkan bantuan alat make up?”
“Astaga, tidak begitu bu. Aku paham betul tidak ada makhluk yang sempurna.”
“Itulah filosofi alat make up bagi ibu, salah satunya adalah bukti sebuah pengakuan seorang perempuan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Maka dibuatlah berbagai alat make up untuk menunjang penampilan semua kaum hawa. Tanpa harus mengubah bentuk yang sudah tuhan kasih dengan operasi plastik, yang jelas-jelas tidak disukai tuhan, get it dear?"
“Owh, itu maksud ibu kenapa aku harus bermake up?”
“Tidak ada yang salah nak, kamu sudah cukup umur dengan alat-alat itu. Kalau masih ada yang sebut itu centil, mungkin mereka merasa diri mereka sudah sangat sempurna sampai-sampai tak perlu berhias. Kamu jangan ikutan sombong seperti mereka ya nak.
Sambil menjelaskan Ibu masih sibuk dengan kain dan benang jahit di tangannya. Entah saat itu pola apa yang sedang ibu buat. Yang jelas setiap rajutan benang jahit ibu, selalu ada cinta dan doa untuk puteri semata wayangnya, Kukuh.
Doa luar biasa yang mampu mengantarkan Kukuh ke dunia yang lebih berwarna lagi. Hidup yang sesungguhnya, yang penuh pertanyaan. Doa yang menggetarkan langit, doa yang membawa terbang Kukuh ke Selatan Barcelona dua tahun lalu.
Studi Master Ekonomi yang ia dapat dari beasiswa Fullbright telah ia rampungkan dengan baik sebulan yang lalu.
“Lantas sekarang untuk siapa semua benda ini ibu?” Gumamnya dalam hati sambil mengetuk-ngetuk pelan pensil alis coklat oleh-oleh dari Mrs. Laurene.
“Setelah semua ini, apa lagi yang harus kulakukan ibu?” Air mata mulai mengkristal menghias mata indah Kukuh.
“Hei Kuh, apa kau baik-baik saja?” Tanpa disadari Jaka sudah berdiri di belakang meja Kukuh sejak beberapa detik lalu.
Jaka yang juga penerima beasiswa master dari Indonesia sudah Kukuh kenal sejak semester pertama di Barcelona. Sekedar berbincang tentang Ekonomi Internasional sudah menjadi kebiasaan mereka. Bagi Kukuh selama ini Jaka hanya teman diskusi, tak lebih.
Kukuh, perempuan pertama yang Jaka tatap matanya lebih dari lima detik. Yap, meskipun hatinya jumpalitan harus menatap Kukuh ketika asik diskusi. Pria dengan karakter tenang dan menjadi pujaan banyak wanita ini. Siapa sangka ia belum pernah mampu menjelaskan tentang perasaanya. Baginya, Kukuh bukan sekedar teman diskusi. Kukuh teman hidupnya, belahan jiwanya.
“Yes, I’am okay” jawab Kukuh lesu.
“Apa rencanamu setelah ini kawan?” Tanya Kukuh. Setelah beberapa detik hening, ia memulai pertanyaan basa-basinya. Sesungguhnya ia sedang ingin sendiri saat ini.
“Hmm entahlah, sepertinya kembali ke tanah air menjadi pilihan bagus. Dua tahun adik perempuanku mengurus bisnis keluarga kami sendirian. Mungkin ini sudah saatnya aku mengambil alih kembali, adikku butuh istirahat. Bagaimana denganmu Kuh?” Senyum Jaka serasa mubazir, kali ini Kukuh enggan manatapnya sama sekali.
Entahlah Jack, untuk siapa aku disana? Hmm, mungkin aku hanya akan berkunjung ke tempat Ayahku di Bali. Lalu ziarah ke pusara Ibu dan menengok beberapa keluarga di Bandung, lantas pulang ke Ibukota” Jawabnya.
Kukuh mencoba membayangkan segelintir aktivitas yang abu-abu. Ia akan melakukannya seperti tanpa nyawa.
“Pulang ke Ibukota? Apa definisi pulang bagimu Kuh?” Tanya Jaka sambil tertawa kecil.
“Pulang adalah kembali ke titik awal kita melakukan start, bukan? Peduli amat aku dengan istilah itu, huh!! Selesai itu semua, aku akan mengambil tawaran Profesor Zidane untuk bekerja di Canada, memulai semuanya disana” tukas Kukuh kesal.
“Jangan beralih topik dulu Kuh, aku hanya ingin tau makna Pulang yang kau sebut tadi. Kau mungkin benar dengan arti Pulang bagimu, meskipun setiap orang punya pengertian berbeda dari kata Pulang. Dan bagiku, titik awal start ku adalah rumahku, keluargaku, kesanalah aku pulang.”
Ya, baiklah itu maksudku, rumah! Aku pulang ke rumahku di Ibukota.” Potong Kukuh tegas.
“Lalu, apa makna rumah bagimu?” Tanya Jaka lagi membuat Kukuh sedikit membatin.
Kukuh merasa terjebak dengan jawabannya sendiri. Tau ah, bukannya tiap orang juga punya definisi masing-masing apa itu Rumah. Aku tak peduli. Rumah bagiku yaa tempat aku bisa merebahkan tubuhku, melepas baju, memasak, bebas!! Sudah cukup membahas tentang rumah Jack, kau ini menyebalkan.
“Bagiku, rumah adalah tempat dimana ada orang yang menunggu kita pulang” ucap Jaka.
Tenggorokan Kukuh terasa tercekam mendengar jawaban Jaka. Dadanya sedikit sesak, kristal di mata Kukuh meluncur bebas ke pipi merahnya. Ia menelan ludah pelan. Mencoba menyeruput Manchadanya yang masih hangat. Bagaimana bisa, untuk memegang cangkir saja tangan Kukuh gemetar.
Kali ini ia sama sekali tak mampu menyembunyikan perasaannya. Hatinya kosong dan kemarau. Malam itu Jaka mencoba mengusik hati yang kering kerontang bertahun lamanya. Sejak Ibu harus disemayamkan dengan jutaan filosofi lipstick, pensil alis, dan cinta untuk Kukuh.
“Astaga, aku tidak bermaksud mengganggumu Kuh. Maaf jika obrolan ini melukaimu. Aku sungguh tak ada maksud, maafkan aku” Jaka mulai gelagapan menyaksikan langsung untuk pertama kalinya sang belahan jiwanya menitikkan butiran air mata, apalagi karena ucapannya.
Kukuh yang Jaka kenal adalah perempuan dengan sosok dingin dan angkuh. Meskipun dengan sedikit make up, ia tetap tampak dingin. Seakan mampu hidup dalam kesendirian.
“It’s okay, kau tak salah. Itu artinya aku sudah tak punya rumah, karena tak ada lagi yang menungguku pulang, itu saja. Maaf aku jadi melankolis gini Jack.” Jawab Kukuh sambil menyeka air matannya.
Tawa getir membungkus suara Kukuh. Jelas itu mengganggu perasaan Jaka. Ia sangat menyesal.
“Apapun pilihanmu setelah ini, aku hanya berharap itu yang terbaik untukmu, Kuh” Ucap Jaka pelan.
Bagaimana mungkin, malam ini menjadi malam terakhir Kukuh berusia 24 tahun. Pukul 00.00 malam nanti ia memasuki usia ke-25. Itu adalah usia perak bagi seorang perempuan lajang, tepat 120 menit lagi.
Bukan Kue ulangtahun dengan lilin berhias angka. Hanya ada Jaka dihadapannya dengan jutaan cinta terpendam untuk Kukuh.
“Kalau boleh aku akan antar kau ke wisma, sudah larut malam, Kuh.”
“Aku masih ingin disini, tak apa jika kau ingin istirahat duluan, silakan. Karena lusa jadwal terbangku ke tanah air, aku ingin menikmati pemandangan malam disini, aku berharap kau pun.
Kali ini gantian dada Jaka yang dibuat sesak. Pertama kalinya Kukuh meminta Jaka menemaninya. “With pleasure!” jawab Jaka tanpa ragu. Nampak tersungging senyum salah tingkah di wajah Jaka.
“Akan kupesankan Cinnamon Roll hangat untuk teman ngopi kita, kamu tunggu disini.” Lanjut Jaka sambil bergegas dari kursinya.
“Aku senang bisa melihatmu malam ini Kuh” Jaka kembali membuka obrolan dengan Cinnamon Roll sudah dihadapan mereka. Kukuh sama sekali tak menghiraukan ucapan Jaka barusan.
“Aku ada sesuatu untukmu.” Lanjut Jaka lagi sambil mengeluarkan sebuah gift box dari dalam tasnya. Kukuh langsung menerimanya.
Sebuah kotak berisi alat make up komplit. Membuat Kukuh tercengang tak mengerti apa yang harus ia katakan. “Spesial hanya untuk wanita bijaksana” tegas Jaka sambil tersenyum hangat. “Thanks Jack, aku sangat suka ini.” balas Kukuh sendu terharu. Baru beberapa menit yang lalu hatinya porak poranda karena benda-benda semacam itu.
Getar ponsel Jaka membuyarkan keromantisan malam mereka. “Assalamualaikum bang..” sapa seorang perempuan di telpon itu dengan nada terburu-buru. “Waalaikumsalam, yaa Ratna.. ada apa tumben sekali telfon?” jawab Jaka terbawa panik.
“Bang, ibu sudah gak ada bang.. Abang pulang segera ya bang.. Kami masih di rumah sakit, setelah ini jenazah ibu dibawa pulang ke rumah” Jawab Ratna lagi sambil terisak. “Abang segera pulang sekarang juga Rat” jawab Jaka lantas memutus telfon adiknya.
“Kuh, ibuku..” ucap Jaka dengan suara tak jelas terbungkus isak tangis. Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Sementara hatinya terasa teriris-iris mendengar kabar kepergian Ibu.
“Aku pergi ya Kuh, kau hat-hati diperjalanan besok. Maafkan aku soal arti rumah dan pulang yang mengganggumu tadi, aku pulang Kuh” ucap Jaka sendu sambil membereskan cepat-cepat isi tasny. Dan dengan cepat meninggalkan meja.
Jemari Kukuh refleks meraih lengan Jaka yang sudah berbalik tubuh, “Thanks Jack, kau adalah rumahku tempat aku pulang nanti. Hati-hati dan salam untuk keluargamu, aku turut berduka” ucap Kukuh lembut. Ucapan yang membuat Jaka tersontak kaget dan menoleh. Paling tidak membuat mereka berdua saling menatap sepersekian detik. Sekedar saling melempar senyum.

0 comments:

Post a Comment

 

Iftitah Axa Template by Ipietoon Cute Blog Design