Tuesday 30 May 2017

Sabtu Senja Bersama Han

Batam, Feb 13rd 2016
Berbincang dengan orang yang baru kita kenal beberapa detik lalu mempunyai keseruan tersendiri, at least bagiku. Dibanding berbincang dengan teman lama yang kadang beberapa dari mereka hanya mengenal wujud dan nama kita, tidak secara emosi. Beberapa dari mereka dengan mudah membuat kesimpulan sendiri tentang diri kita. Yang entah kenapa seringkali kesimpulan yang tidak mampu kuterima. Walaupun memang tidak butuh persetujuanku sih. Itulah mengapa bercerita hal mendalam dengan orang yang baru kukenal beberapa detik selalu ampuh memberi efek tenang.
Sabtu menjelang petang.
Aku baru mengenalnya beberapa detik lalu saat duduk tak nyaman di dalam metro trans trayek Nongsa-Jodoh. Metro Trans kami menuju Nagoya Hill. Sejak saat itu aku yakin tidaklah perlu orang yang sudah lama kita kenal untuk bertukar pikiran tentang bagaimana kita memandang kehidupan. Tidak selalu perlu.
Entah siapa nama depan dan belakang pria berwajah oriental itu. Hangat menenangkan tentu. Aku mencoba menebak-nebak nama lengkapnya dalam pikiranku. Sampai menghiraukan beberapa baris kicauan Han. Burhan kah? Johan kah? Han? Hanoman? Uhh. Lamunanku buyar seketika sikutan lembutnya tepat mendarat di lenganku.
“Apa pentingnya sebuah nama, jika dengan tiga huruf itu saja kau bisa membagi semuanya padaku. goda Han.
“May I?” Tanyaku memastikan malam ini sebagian kegundahanku benar-benar bisa kubagi.
“Ini pusat perbelanjaan, dan malam hari pula. Aku rasa kau bukan anak dari keluarga berkelimpahan uang. Tempat ini tidak cocok dengan tampilanmu yang biasa-biasa saja.celotehnya sambil tertawa mengejekku.
“Kalau dengan tiga huruf artinya kamu bersedia menjadi teman untuk bocah dari keluarga biasa saja sepertiku, jadi akan kemana kita malam ini, Han?”
“Smile Hill, yunno? Haha!! Dari sana kau bisa melihat Singapore sangat jelas. Kata orang-orang pemandangan malam disana bagus” Jawabnya tegas tanpa meminta persetujuan.
“Jangan belaga western deh, Bukit Senyum? Baiklah.” Balasku menggerutu sambil berjalan mengikuti Han keluar dari pusat perbelanjaan.
“Diseberang jalan ada rental motor, supaya lebih fleksibel kita pakai motor saja gimana?” tanya Han yang sepertinya tidak butuh persetujuanku, hanya konfirmasi.
“Why not, Han. Sekalian kau jadi guideku malam ini bukan?” jawabku meledek.
“Aku baru beberapa jam terdampar di pulau ini, tapi aku mengoptimalkan smartphoneku, tidak seperti kau, cewek pemalas!” Han balas meledekku.
Ah, indahnya pemandangan di Bukit Senyum tidak sekedar foto dan review warga lokal, ini sungguhan. Atau karena aku ditemani orang yang baru saja kukenal beberapa detik lalu? Entahlah.
“Di Kota ini hanya ada tujuh treyek angkutan kota, tujuh warna. Kamu tahu kenapa trayek Jo(doh)-No(ngsa) harus berwarna merah muda?” Pertanyaan pertamaku di Bukit Senyum, demi mencairkan suasana.
“Kenapa kau tidak memulai dengan memberitahu namamu, supaya aku mudah memanggilmu. Aku hanya butuh tiga huruf dan kau boleh bertanya apapun tentangku, bagaimana?” Han tak hiraukan pertanyaan basa-basiku.
“Ayah memberiku nama Senja, maaf merepotkanmu karena namaku lima huruf. Demi mempermudah kau boleh memanggilku Flo, itu nama panggilan dari ibuku.
“Kenapa ayah ibumu tidak sepakat. Hey, kau hanya perlu satu nama bukan? Ah sudahlah. Percuma, ayah ibumu juga sedang tidak disini.”
“Aku juga baru hitungan jam tiba di Kota ini Han, pulau ini!!” Lanjutku antusias.
Di perjalanan menuju Bukit Senyum, Han membeli kopi panas yang langsung ia tuang ke botol minumnya. Untuk teman ngobrol, katanya. Ya, tepatnya untuk teman dia ngobrol, karena Han hanya membeli satu.
“Disini sulit mencari warung kopi, apalagi yang enak. Beda dengan kota asalku.” Ucap Han sambil menghirup aroma kopi yang masih panas dari dalam botol.
“Kau suka kopi apa, Flo?”
“Kopi? Aku hanya tahu sedikit jenis Arabica seperti Toraja, Mandaling, Gayo, Mangkuraja. Atau jenis Robusta seperti Kopi Luwak. Oiya, kopi Joss dari kota asalmu, dan kopi Liong dari kotaku. Ah, aku tidak mengerti kopi Han, maaf ya. Aku sekedar penikmat kopi, bukan pecinta.”
“Uhm, itu kau tau banyak jenis kopi. Ayolah Flo, kau pasti mengerti kopi, beritahu aku rekomendasi kopi terenak. Dimanapun selama bisa kujangkau, aku akan datang kesana.celoteh Han yang mulai antusias. Entah harus dibawa kemana obrolan kopi ini.
Aku terhenyak dengan pertanyaan kopi terenak barusan. Kopi? Terenak? Perihal kopi saja aku sudah menyerah, apalagi yang terenak.
“Kau suka mendaki gunung, Han?” Kami berpindah topik pembicaraan seenaknya sejak tadi.
“Jangan bilang kau juga suka gunung!! Aku sungguh suka, meskipun masih amatiran. Terakhir dua bulan lalu aku sendirian ke Tambora, lalu ke gunung Agung.” Jawab Han sambil menyeruput kopi panasnya.
“Sial, that’s great amateur dude! Gak ada istilah amatiran untuk berkegiatan alam bebas, Han. Semua orang berpotensi mengalami bahaya di gunung. Alam tak memandang kau sekuat apa, biarpun kau sudah berlatih penuh, kau tetap harus selalu prepare untuk perjalananmu. Setiap orang yang pernah atau sedang mendaki, ia disebut pendaki, cukup. Tidak ada istilah amatir atau expert, menurutku loh ya, hehe!!”
“Menurutmu, gunung mana yang paling istimewa, yang paling oke? Leuser? Argopuro? Binaiya? Atau?” Tanya Han lagi. Kali ini sambil menatapku, menunggu jawaban panjang tentang gunung.
“Watta hell!! Kau menjebakku ya!! Kau menanyakan hal yang sama, hanya beda objek saja. Tadi kopi terenak, sekarang kau tanya gunung teristimewa. Tidak ada, Han!! Kau pasti paham itu!!”
Apa maksudmu? Aku serius soal kopi terenak, juga gunung teristimewa! Kau hanya tinggal menjawabnya berdasarkan pengalamanmu bukan. Pelit banget sih.
“Bukan gitu Han! Kalau kau tanya kopi terenak, jawabanku nggak ada. Nggak ada kopi terenak, nggak ada gunung teristimewa. Semua kopi punya ciri khas masing-masing. Kalau menurutmu robusta racikan mbokmu better than robusta di coffee shop terkenal itu, kamu tahu apa artinya? Kopi terenak itu gak ada, yang ada adalah kopi yang paling cocok denganmu.” Jawabku mulai kesal.
“Gunung teristimewa juga gak ada. Semua gunung, bahkan semua tempat entah gunung, laut, dan apapun itu. Mereka punya khas dan keunikan masing-masing. Tak bisa kau generalisir. Kalau kau cari gunung tertinggi, kau tinggal cari datanya di internet. Tapi gunung teristimewa dan terbaik tidak akan kau temui Han. Yang ada itu hanya gunung yang memberimu cerita. Jelasku. Han terdiam disebelahku, seperti memikirkan sesuatu.
Aku mulai jengkel dan hendak berdiri. Han menahan bahuku untuk tetap duduk. Semacam adegan sinetron recehan yang membuat kami saling tatap beberapa detik. Aku mengalah dan kembali duduk meskipun harus menghela nafas dan menghembuskannya dengan rusuh sebagai isyarat aku mulai jenuh dengan obrolan ini.
Malam ini akan panjang. Karena kami mengerti. Kami bukan hanya sedang bicara tentang kopi terenak dan gunung teristimewa. Bukan sekedar itu. Kami sedang bicara tentang bagaimana kami memandang hidup. Han hebat. Ia mengemas obrolan ini dengan manis.
“Maaf kalau topik ini terlalu jauh Flo. Aku hanya butuh tahu tentangmu, dan barusan sudah sangat menjawab” Ucap Han dengan rasa bersalahnya.
Apa?” Tanyaku heran.
Jawaban terakhirmu Flo. Hei, kau terbang kesini ratusan kilometer dari kota tempat tinggalmu, aku hanya ingin tahu apa alasannya. Aku sulit berterus terang, dan kau dengan cepat menjawab melalui analogi gunung teristimewa tadi. Kau hanya mencari peredam kesepianmu.
Perbincangan berlanjut tanpa harus saling tatap. Aku heran kenapa harus bertemu dengan orang sehebat Han di tempat ini. Right man in the Right place and the good time.
“Jadi kita sama-sama tiba di pulau ini sekitar 32 jam yang lalu tanpa tujuan yang berbobot ya Han? Kau enak, kalau mau lama disini dan rindu kota asalmu, kau tinggal pergi ke simpang kabil. Tak jauh dari sana dibelakang ATB ada angkringan onthel. Pasti disana menyediakan kopi khas kotamu.” Aku mencoba mencairkan suasana dengan gurauanku lagi, basa-basi.
Berhasil. Kami membunuh malam yang sepi itu dengan obrolan-obrolan ajaib. Han luar biasa, dia pandai menguasai perhatian lawan bicaranya. Persetan dengan pengantar macam kopi, gunung, pantai, layang-layang, sepeda, babi hutan, dan sejuta pengantar lainnya yang membuatku mengenal Han.
Han menghadiahkan satu lagu buatku malam itu, dengan suaranya sendiri. Tanpa petikan alat musik apapun, lagu dengan judul kota asalnya. Aku tak pernah percaya sihir kecuali malam itu, bersama Han.
“Aku menumpang di kosan temanku, gak jauh dari Botania Dua. Kalau gak buru-buru antar aku pulang ya. Metro trans sudah gak ada tengah malam begini.” Pintaku setelah mengintip jam digital pada layar ponsel di saku kiri jaket.
“Aku sedang senang malam ini. Jadi, meskipun gak satu arah, tak apalah aku mengantarmu pulang Flo.” Jawab Han ramah, sambil merapikan bajunya.
“Kau pulang kemana Han? By the way, kau nampak keren dengan parka abu-abu seperti itu.
Ah, lagi-lagi aku harus berbasa-basi demi tidak memberi kesempatan Han bertanya hal aneh-aneh sebelum kami pulang. Lelah rasanya harus menimpali banyak pertanyaan, apalagi dengan analogi versi Han.
“Terimakasih, dan kau nampak biasa saja Flo, tidak cantik, hanya menarik, hehe” balasnya sambil mengedipkan mata kirinya. Menyebalkan.
Aku sengaja minta Han mengantarku hanya sampai depan Botania. Sebelum ke kostan aku mampir ke ATM di minimarket depan Emerald untuk membayar tiket penerbangan yang baru saja kupesan online di atas motor saat perjalanan pulang.
“Pertemanan kita hanya beberapa jam saja? Kau tak berminat mencatat nomor handphoneku, Flo?” Tanya Han saat aku hendak menyebrang.
Aku berhenti melangkah dan menghampiri Han. Entahlah apa yang harus kujawab.
“Tidak perlu Han, kau tetap temanku. Masalah bisa jumpa lagi denganmu atau tidak itu sudah ada yang mengatur. Semesta tak butuh nomor handphone untuk mempertemukan kita tadi di Nagoya bukan? See you kawan.” Ucapku sambil berlalu. Tak ada lambaian tangan.
Malam itu, satu lagi pesan yang kudapat. Salah satu keharusan yang kita bawa pulang setelah melakukan perjalanan adalah pengetahuan. Dan obat dari si kesepian, apapun itu.
64 jam setelah pertemuanku dengan Han, aku memutuskan pulang ke kotaku, dan menulis Sabtu Senja bersama Han.

0 comments:

Post a Comment

 

Iftitah Axa Template by Ipietoon Cute Blog Design