Batam, Feb 13rd
2016
Berbincang
dengan orang yang baru kita kenal beberapa detik lalu mempunyai keseruan
tersendiri, at least bagiku. Dibanding berbincang dengan teman lama yang
kadang beberapa dari mereka hanya mengenal
wujud dan nama kita, tidak secara emosi. Beberapa dari mereka dengan mudah
membuat kesimpulan sendiri tentang diri kita.
Yang entah kenapa seringkali kesimpulan yang tidak mampu kuterima. Walaupun memang tidak butuh persetujuanku sih. Itulah mengapa bercerita hal mendalam dengan orang yang baru kukenal beberapa detik selalu
ampuh
memberi efek tenang.
Sabtu
menjelang petang.
Aku baru mengenalnya beberapa detik lalu saat duduk tak nyaman di dalam metro trans trayek Nongsa-Jodoh. Metro Trans kami menuju Nagoya Hill. Sejak saat itu aku yakin tidaklah perlu orang yang sudah lama kita kenal untuk bertukar pikiran tentang bagaimana kita memandang kehidupan. Tidak selalu perlu.
Aku baru mengenalnya beberapa detik lalu saat duduk tak nyaman di dalam metro trans trayek Nongsa-Jodoh. Metro Trans kami menuju Nagoya Hill. Sejak saat itu aku yakin tidaklah perlu orang yang sudah lama kita kenal untuk bertukar pikiran tentang bagaimana kita memandang kehidupan. Tidak selalu perlu.
Entah
siapa nama depan dan belakang pria berwajah oriental itu. Hangat menenangkan tentu.
Aku mencoba menebak-nebak nama lengkapnya dalam pikiranku. Sampai menghiraukan beberapa baris kicauan Han. Burhan kah?
Johan kah? Han? Hanoman? Uhh.
Lamunanku buyar seketika sikutan lembutnya tepat mendarat di
lenganku.
“Apa
pentingnya sebuah nama, jika dengan tiga huruf itu saja kau bisa membagi
semuanya padaku.” goda Han.
“May
I?” Tanyaku memastikan malam ini sebagian kegundahanku benar-benar bisa kubagi.
“Ini
pusat perbelanjaan, dan malam
hari pula. Aku rasa kau bukan anak dari keluarga berkelimpahan uang. Tempat ini tidak cocok dengan tampilanmu yang biasa-biasa
saja.” celotehnya
sambil
tertawa mengejekku.
“Kalau
dengan tiga huruf artinya kamu bersedia menjadi teman untuk bocah dari keluarga biasa saja sepertiku, jadi akan kemana kita malam ini, Han?”
“Smile
Hill, yunno? Haha!! Dari sana kau bisa melihat Singapore sangat jelas. Kata
orang-orang pemandangan malam disana bagus” Jawabnya tegas tanpa meminta
persetujuan.
“Jangan
belaga western deh, Bukit Senyum? Baiklah.”
Balasku menggerutu sambil berjalan mengikuti Han keluar dari pusat
perbelanjaan.
“Diseberang
jalan ada rental motor, supaya lebih fleksibel kita pakai motor saja gimana?” tanya Han yang sepertinya tidak butuh persetujuanku,
hanya konfirmasi.
“Why
not, Han. Sekalian kau jadi guideku malam ini bukan?” jawabku meledek.
“Aku
baru beberapa jam terdampar di pulau ini, tapi aku mengoptimalkan smartphoneku,
tidak seperti kau, cewek pemalas!”
Han balas meledekku.
Ah,
indahnya pemandangan di Bukit Senyum tidak sekedar foto dan review warga lokal,
ini sungguhan. Atau karena aku ditemani orang yang baru saja kukenal beberapa
detik lalu? Entahlah.
“Di
Kota ini hanya ada tujuh treyek angkutan kota, tujuh warna. Kamu tahu kenapa
trayek Jo(doh)-No(ngsa) harus berwarna merah muda?” Pertanyaan pertamaku di
Bukit Senyum, demi mencairkan suasana.
“Kenapa
kau tidak memulai dengan memberitahu namamu, supaya aku mudah memanggilmu. Aku
hanya butuh tiga huruf dan kau boleh bertanya apapun tentangku, bagaimana?” Han
tak hiraukan pertanyaan basa-basiku.
“Ayah
memberiku nama Senja, maaf merepotkanmu karena namaku lima huruf. Demi mempermudah kau boleh memanggilku
Flo, itu nama panggilan dari ibuku.”
“Kenapa
ayah ibumu tidak sepakat.
Hey, kau
hanya perlu satu nama bukan? Ah sudahlah. Percuma, ayah ibumu juga sedang tidak disini.”
“Aku
juga baru hitungan jam tiba di Kota ini Han, pulau ini!!” Lanjutku antusias.
Di
perjalanan menuju Bukit Senyum, Han membeli kopi panas yang langsung ia tuang
ke botol minumnya. Untuk teman ngobrol, katanya. Ya, tepatnya untuk teman dia
ngobrol, karena Han hanya membeli satu.
“Disini
sulit mencari warung kopi, apalagi yang enak. Beda dengan kota asalku.” Ucap
Han sambil menghirup aroma kopi yang masih panas dari
dalam botol.
“Kau
suka kopi apa, Flo?”
“Kopi?
Aku hanya tahu sedikit jenis Arabica seperti Toraja, Mandaling, Gayo, Mangkuraja.
Atau jenis Robusta seperti Kopi Luwak. Oiya, kopi Joss dari kota asalmu, dan kopi
Liong dari kotaku. Ah, aku tidak mengerti kopi Han, maaf ya. Aku sekedar
penikmat kopi, bukan pecinta.”
“Uhm,
itu kau tau banyak jenis kopi. Ayolah
Flo, kau pasti mengerti kopi, beritahu aku rekomendasi kopi terenak. Dimanapun selama bisa kujangkau, aku akan datang kesana.” celoteh
Han yang mulai antusias. Entah harus dibawa kemana obrolan kopi ini.
Aku
terhenyak dengan pertanyaan kopi terenak barusan. Kopi? Terenak? Perihal kopi saja
aku sudah menyerah, apalagi yang terenak.
“Kau
suka mendaki gunung, Han?” Kami berpindah topik pembicaraan seenaknya sejak
tadi.
“Jangan
bilang kau juga suka gunung!! Aku sungguh suka, meskipun masih amatiran.
Terakhir dua bulan lalu aku sendirian ke Tambora, lalu
ke gunung Agung.” Jawab
Han sambil menyeruput kopi panasnya.
“Sial,
that’s great amateur dude! Gak ada istilah amatiran untuk berkegiatan alam
bebas, Han. Semua orang berpotensi mengalami bahaya di gunung. Alam tak
memandang kau sekuat apa, biarpun kau sudah berlatih penuh, kau tetap harus selalu prepare
untuk perjalananmu. Setiap orang yang pernah atau sedang mendaki, ia disebut
pendaki, cukup. Tidak ada istilah amatir atau expert, menurutku loh ya, hehe!!”
“Menurutmu,
gunung mana yang paling istimewa, yang paling oke? Leuser? Argopuro? Binaiya? Atau?” Tanya Han lagi. Kali
ini
sambil menatapku, menunggu jawaban panjang
tentang gunung.
“Watta
hell!! Kau menjebakku ya!! Kau menanyakan hal yang sama, hanya beda objek saja. Tadi kopi terenak, sekarang kau tanya
gunung teristimewa. Tidak ada,
Han!! Kau pasti paham itu!!”
“Apa maksudmu? Aku serius soal kopi terenak, juga gunung
teristimewa! Kau hanya tinggal menjawabnya berdasarkan pengalamanmu bukan.
Pelit banget sih.”
“Bukan
gitu Han! Kalau kau tanya kopi terenak, jawabanku nggak ada. Nggak ada kopi
terenak, nggak ada gunung teristimewa. Semua kopi punya ciri khas masing-masing. Kalau
menurutmu robusta racikan mbokmu better than robusta di coffee shop terkenal
itu, kamu tahu apa artinya? Kopi terenak itu gak ada, yang ada adalah kopi yang
paling cocok denganmu.” Jawabku mulai
kesal.
“Gunung
teristimewa juga gak ada. Semua gunung, bahkan semua tempat entah gunung, laut,
dan
apapun itu. Mereka
punya khas dan keunikan masing-masing. Tak bisa kau generalisir. Kalau kau cari gunung tertinggi, kau tinggal cari datanya
di internet. Tapi gunung teristimewa dan terbaik
tidak akan kau temui Han. Yang ada itu hanya gunung yang memberimu cerita.” Jelasku. Han
terdiam disebelahku, seperti memikirkan sesuatu.
Aku
mulai jengkel dan hendak berdiri. Han menahan bahuku untuk tetap duduk. Semacam
adegan sinetron recehan yang membuat
kami saling tatap beberapa detik. Aku mengalah dan kembali duduk meskipun harus
menghela nafas dan menghembuskannya dengan rusuh sebagai isyarat aku mulai
jenuh dengan obrolan ini.
Malam
ini akan panjang. Karena kami mengerti. Kami bukan hanya sedang bicara tentang
kopi terenak dan gunung teristimewa.
Bukan sekedar itu. Kami sedang bicara tentang bagaimana kami
memandang hidup. Han hebat. Ia mengemas obrolan ini dengan manis.
“Maaf kalau
topik ini terlalu jauh Flo.
Aku hanya butuh tahu tentangmu, dan barusan sudah sangat menjawab” Ucap Han dengan rasa bersalahnya.
“Apa?” Tanyaku heran.
“Jawaban terakhirmu Flo.
Hei,
kau terbang kesini ratusan kilometer
dari kota tempat tinggalmu, aku hanya ingin tahu apa alasannya. Aku sulit berterus terang, dan kau dengan cepat menjawab
melalui analogi gunung teristimewa tadi. Kau hanya mencari peredam
kesepianmu.”
Perbincangan
berlanjut tanpa harus saling tatap. Aku heran kenapa harus bertemu dengan orang
sehebat Han di tempat ini. Right man in the Right place and the good time.
“Jadi
kita sama-sama tiba di pulau ini sekitar 32 jam yang lalu tanpa tujuan yang
berbobot ya Han? Kau enak, kalau mau lama disini dan rindu kota asalmu, kau
tinggal pergi ke simpang kabil. Tak jauh
dari sana dibelakang ATB ada
angkringan onthel. Pasti disana menyediakan kopi khas kotamu.” Aku mencoba
mencairkan suasana dengan gurauanku lagi, basa-basi.
Berhasil.
Kami membunuh malam yang sepi itu
dengan obrolan-obrolan ajaib. Han luar biasa, dia pandai menguasai perhatian
lawan bicaranya. Persetan dengan pengantar macam kopi, gunung, pantai,
layang-layang, sepeda, babi hutan, dan sejuta pengantar lainnya yang membuatku
mengenal Han.
Han
menghadiahkan satu lagu buatku malam itu, dengan suaranya sendiri. Tanpa petikan alat musik apapun, lagu dengan judul kota
asalnya. Aku tak pernah percaya
sihir kecuali malam itu, bersama Han.
“Aku
menumpang di kosan temanku, gak jauh dari Botania
Dua. Kalau gak
buru-buru antar aku pulang ya. Metro
trans sudah gak ada tengah malam begini.” Pintaku setelah mengintip jam digital pada layar ponsel di
saku kiri jaket.
“Aku
sedang
senang malam ini. Jadi, meskipun gak
satu arah, tak apalah aku mengantarmu pulang Flo.” Jawab
Han ramah, sambil merapikan bajunya.
“Kau
pulang kemana Han? By the way, kau nampak keren dengan parka abu-abu seperti
itu.”
Ah,
lagi-lagi aku harus berbasa-basi
demi tidak memberi kesempatan Han bertanya hal aneh-aneh sebelum kami pulang.
Lelah rasanya harus menimpali banyak pertanyaan, apalagi dengan analogi versi
Han.
“Terimakasih,
dan
kau nampak biasa saja Flo, tidak cantik,
hanya menarik, hehe” balasnya sambil
mengedipkan mata kirinya. Menyebalkan.
Aku
sengaja minta Han mengantarku hanya sampai depan Botania. Sebelum ke kostan aku
mampir ke ATM di minimarket depan Emerald untuk membayar tiket penerbangan yang
baru saja kupesan online di atas motor saat perjalanan pulang.
“Pertemanan
kita hanya beberapa jam saja? Kau tak berminat mencatat nomor handphoneku,
Flo?” Tanya Han saat aku hendak menyebrang.
Aku
berhenti melangkah dan menghampiri Han.
Entahlah apa yang harus kujawab.
“Tidak
perlu Han, kau tetap temanku.
Masalah bisa jumpa lagi denganmu atau tidak itu sudah ada
yang mengatur. Semesta tak butuh nomor
handphone untuk mempertemukan kita tadi di Nagoya bukan? See you kawan.” Ucapku sambil berlalu. Tak ada lambaian tangan.
Malam
itu, satu lagi pesan yang kudapat. Salah satu keharusan yang kita bawa pulang
setelah melakukan perjalanan adalah pengetahuan. Dan obat dari si kesepian, apapun itu.
64 jam setelah pertemuanku dengan Han, aku memutuskan pulang ke kotaku, dan menulis Sabtu Senja bersama Han.
64 jam setelah pertemuanku dengan Han, aku memutuskan pulang ke kotaku, dan menulis Sabtu Senja bersama Han.
0 comments:
Post a Comment