Jadi begini rasanya saat diri kita
ada di puncak kekosongan, kehampaan yang tanpa sadar tercipta karena ulah diri
kita sendiri. Gue ngerasain ada sesuatu yang aneh terjadi sama diri gue.
Mungkin satu bulan terakhir ini gue sudah mulai sadar ada yang gak beres sama
diri gue. Sempat gue anggap remeh.
Awalnya gue pikir gue hanya ada di
puncak rasa bosan. Bosan dengan lingkungan atau suasana kerja, misalnya. Tapi
kayaknya gak sepenuhnya benar.Tapi oke, logika gue kesampingkan. Gue coba
turutin perasaan aneh bin gak jelas ini. Gue coba ngelamar kerja ditempat lain
mungkin ya. Sampai gue cerita serius ke nyokap tentang rencana gue resign.
Nyokap dengan halus menyarankan untuk ‘kayaknya
perlu dipikirin lagi deh Ta’
Perasaan ini makin mendominasi diri
gue, logika gue makin sering ngalah.
Selasa dan Rabu lalu gue mutusin
untuk ngajuin cuti. Awalnya coord gue (Pak Muchlis) nyaranin untuk ngambil satu
hari cuti aja. Logika gue setuju sama alasan coord gue. Tapi lagi-lagi logika
gue terlalu lemah. Makhluk rese yang ada dalam diri gue maju dan dengan
berbagai alasan bernegosiasi dengan coord gue supaya cuti tsb disetujui. Logika
gue hanya menatap tak berdaya dari kegelapan.
Selasa, satu hari tsb gue habiskan
dengan bangun agak lebih siang dari biasanya dibanding saat hari kerja. Biasanya gue bangun jam 4
pagi. Dan hari ini jam 5 baru bangun. Langsung bergegas nyiapin berkas lamaran
kerja dan pergi ke beberapa lokasi. Diri gue bergerak begitu aja. Ruh gue
seperti hanya berfungsi menggerakan gue dari satu posisi ke posisi lain.
Otak/logika gue gak dikasih kesempatan untuk ngambil alih.Tapi fine, dua hari
ini gue persembahkan untuk hati gue. Loguka gue hanya untuk fokus ditempat
kerja, tok.
Siang sekitar pukul 2, hujan mulai
mengguyur jalan Gatot Subroto. Gue masih melaju bersama Red Beat gue tanpa
menghiraukan hujan yang nampak meledek.
Gue tetap belum hafal berbagai ruas
jalan ibu kota walaupun sering ngayap kesana kemari dari jaman sekolah dulu.
Gue hanya ngikutin plang penunjuk jalan. Angin nganterin makhluk rese dalam
diri gue untuk sampai di bilangan Jakarta Utara, Ancol tepatnya. Entah apa mau
dia. Gue turutin perasaan gue untuk masuk setelah gue parkir Red Beat.
Gue keliling arena bermain Dufan
yang terlihat gak begitu ramai. Kebetulan gue punya kartu akses gratis masuk
Dufan yang gue buat 4 bulan lalu. Wahana-wahana inti gak beroperasi hari itu.
Mungkin karena bukan weekend atau holiday. Gue hanya menaikin 3 wahana,
Halilintar, Kora-kora, dan Kicir kicir. Setelah itu gue masuk ke pertunjukan
Treasureland. Drama yang sama sekali gak berubah sejak 4 bulan yang lalu gue ke
Dufan untuk pertama kalinya.
Logika gue hanya termenung sedih
menatap hujan, berharap hati ini bosan dan segera ingin pulang. Tapi hati gue
seperti tertawa berusaha meremas
karamaian yang tak kunjung tersentuh walau hanya ujung kukunya. Hati gue
memerintahkan logika ini untuk tetap berpura-pura senang dan merautkan lekukan
simetris di bibir gue, singkatnya tersenyum.
Setelah nonton pertunjukkan tsb
kaki gue melangkah lagi. Gue naik wahana terakhir sebelum mutusin untuk out
dari Dufan. Gue naik wahana pontang panting yang sepi banget. Gue Cuma berdua
sama cowok yang wajahnya gak asing. Yap, dia MC acara Treasure land. Gue lupa
namanya siapa, karena memang gak terlalu niat kenalan. Tapi pontang panting
sengaja diputar 10 menit sama mbak mbak sinting temannya mas mas MC ini.
Alhasil 10 menit tsb gue ngobrol gak jelas sama mas mas MC tadi sambil nahan
mual karena terlalu lama diputer. Heuh -_-“
Lalu gue pun ngambil Red Beat di
parkiran Dufan. Lagi-lagi gue hanya memperhatikan logika dan hati gue
bertempur. “Pulang!! Istirahat!! Matahari dah mau tenggelam!!” perintah logika
gue yang akhirnya buka suara. “Nggak!!” >,<
Kurang lebih begitu percakapan
mereka. Hati gue berhasil membawa gue dan Red Beat yang masih keheranan ke arah
Beach Pool Ancol. Gue turun dan makin pasrah akan kemana kaki gue yang udah
mulai sakit dan merah karena nahan alas sepatu sandal yang udah rusak.
Gue nelusurin dermaga.
Memperhatikan ada beberapa pasang calon suami istri yang sedang take Photo
prawedding. Pemandangan sunset yang cukup oke memang untuk berfoto. Gue
berlanjut menghirup udara pantai yang sudah gak terlalu jernih itu. Ada
kenikmatan tersendiri dari tiap detik view yang tertangkap indera gue. Salah
satunya pemandangan corat-coretan ratusan nama pasangan di dermaga gembok hati.
Gue jadi ketawa kecil inget ucapan abang gue “Ah, jangan ikut-ikutan nulis nama
kita ama pacar di dermaga gembok hati, nanti putus noh kayak Jamal sama Putri”
Terlepas dari lamunan tadi, guepun
lanjut berjalan menyusuri dermaga, menyaksikan jelas pemandangan beberapa orang
yang sedang asik duduk di Columbus dan Le Bridge nyaksiin sunset sambil
nyeruput juice Alpukatnya yg nampak smoothie, mungkin karena gue haus kaliya.
Dermaga yang berbentuk ¾ lingkaran.
Tidak berujung. Berakhir di dermaga sebelah barat. Lokasi yang sekelebat
mengingatkan gue sesuatu yang sebetulnya nggak perlu di ingat sih. Memunculkan
sebuah nama dibenak gue. Bodoh memang gue, gak seharusnya gue ngerasain itu.
Tapi nyatanya gue agak lama bengong ditempat itu. Memotret tempat duduk kosong
dekat perahu bersandar. Masih lekat jelas Minggu di Maret 2013. Jari gue tanpa
sadar menghitung, satu tahun sudah lewat, beberapa ‘orang lain’ sudah pernah
hinggap. Kenapa view itu masih terus terputar di kepalamu Tha. Pernah ada angin
yang tak sengaja masuk dan hinggap di salah satu bilik hati gue.”Ah, sudah xa...”
Kira-kira begitu ucap logika gue sore tadi, sama seperti ucapan ka Pahjiar
setiap ngobrol sepanjang jalan pulang ke Depok, selalu itu.
Semilir angin ngingetin gue waktu
dah makin malam, tik.. tok.. tik.. tok..
Gue bergegas ngambil Red Beat dan
melaju ninggalin kawasan Ancol untuk pulang. Perut dah mulai terasa lapar,
namun terabaikan karena lelah yang maksa untuk segera sampai di rumah. Sempet
nyasar ke Bekasi dulu lah. Segalaaaaa..
Akhirnya tiba juga dirumah,
ngelepas lelah dan bersiap untuk kebodohan selanjutnya keesokan hari, di hari
cuti kedua yang tidak lebih berkualitas dari hari ini. Tha...
0 comments:
Post a Comment